Salah satu jurnalis paling populer di negara kita meninggal pada 17 Mei 2024, di usianya yang baru 68 tahun, karena mesothelioma. Franco di Mare dengan berani menceritakan perang dan kehancuran yang ditimbulkannya tidak hanya dalam waktu dekat, tetapi juga bertahun-tahun kemudian. Penyakit yang membawanya pergi ini terkait dengan paparan asbes selama perang di bekas Yugoslavia di mana dia menjadi reporter. Dalam buku terbarunya “Kata-kata untuk mengatakannya. Perang di luar dan di dalam diri kita” ingin menceritakan pengalamannya selama dua puluh tahun di garis depan menghadapi perang dan rasa sakit yang ditimbulkannya.
Pengalaman perang secara langsung
Franco Di Mare, setelah menjadi editor dan koresponden L'Unità, bergabung dengan Rai pada tahun 1991 di kantor redaksi asing Tg2, di mana pada tahun 1995 ia menjadi koresponden khusus.
Pada tahun 2002 ia pindah ke Tg1, sebuah program berita di mana ia meliput banyak konflik yang berdampak pada dunia dalam dua puluh tahun terakhir seperti yang terjadi di Bosnia, Kosovo, Somalia, Mozambik, Aljazair, Albania, Ethiopia, Eritrea, Rwanda, perang pertama dan kedua di Teluk, Afghanistan, Timor Timur, Timur Tengah dan Amerika Latin.
Dalam buku “Kata-kata untuk mengatakannya” dia memutuskan untuk menyelidiki semua perang yang dia saksikan baik di luar maupun di dalam dirinya. Sebuah kisah yang di dalamnya terdapat kronik dari setiap peristiwa yang disaksikannya, sekaligus menciptakan refleksi tentang makna perang dan segala luka yang ditimbulkannya. Dalam bukunya, ia berbicara tentang bagaimana konflik mampu menimbulkan korban bahkan bertahun-tahun setelah konflik tersebut selesai.
Contohnya adalah “Sindrom Balkan” yang terkait dengan konflik di bekas Yugoslavia dan Kosovo yang menyebabkan orang-orang yang terlibat seperti tentara, warga sipil, dan wartawan sendiri jatuh sakit. Penyebabnya adalah paparan depleted uranium yang dilepaskan oleh proyektil atau penghirupan partikel asbes yang tersebar di udara setelah penghancuran bangunan. Franco Di Mare sendiri adalah korban dari “Sindrom Balkan”, seperti yang sayangnya kita ketahui dalam beberapa hari terakhir. Buku terbarunya merupakan refleksi mendalam atas pengalaman penulis yang mendapati dirinya berperang dalam dirinya sendiri, tetapi juga tentang seseorang yang menghadapi kehidupan yang ditandai dengan pertemuan-pertemuan penting, yang mampu memulihkan dalam dirinya rasa persahabatan dan solidaritas antar umat manusia. .