Apakah Indonesia terancam pembatasan kebebasan pers? Beberapa jurnalis melihatnya seperti itu. Mereka khawatir rencana DPR Indonesia untuk merevisi undang-undang media nasional sama saja dengan melarang pemberitaan investigatif dan melemahkan kebebasan pemberitaan secara keseluruhan.
Revisi undang-undang tersebut sama saja dengan “kebiri pers,” kata Herik Kurniawan, ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dalam wawancara dengan Babelpos. “Dengan aturan baru, kami para jurnalis sudah tidak bisa bekerja lagi. Kami tidak bisa lagi meneliti dan melakukan jurnalisme eksklusif. Tapi dalam kasus korupsi misalnya, kami harus bisa memberitakannya,” ujarnya.
Kekhawatiran media: rancangan undang-undang melanggar undang-undang pers
Menurut Federasi Jurnalis Internasional, usulan perubahan tersebut mencakup pasal yang melarang siaran digital dan televisi yang berisi “jurnalisme investigatif eksklusif”. Ada kekhawatiran bahwa undang-undang tersebut juga akan menargetkan konten LGBTQIA+.
Kritikus juga mengeluh bahwa rancangan undang-undang tersebut melanggar undang-undang pers Indonesia. Hal ini memperjelas bahwa pers Indonesia tidak tunduk pada sensor atau larangan penyiaran. Sebaliknya, pers mempunyai hak untuk “mencari, menerima, dan menyebarkan gagasan dan informasi,” demikian bunyi undang-undang tersebut.
Dewan Pers Indonesia juga mengungkapkan keprihatinannya. Didirikan pada tahun 1968, badan pengurus ini dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam mendorong perkembangan pers nasional. Draf yang direvisi akan mengurangi perannya, kata dewan tersebut.
Salah satu tugas Dewan Pers juga adalah menyelesaikan perselisihan antara masyarakat dan pers. Undang-undang penyiaran yang direvisi menetapkan bahwa tugas ini akan diambil alih oleh Komisi Penyiaran Indonesia di masa depan.
Artinya, penyelesaian sengketa jurnalistik dalam RUU tersebut akan dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya tidak mempunyai mandat untuk itu, kata Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers Indonesia, dalam konferensi pers pertengahan Mei lalu. “Mandat penyelesaian sengketa jurnalistik ada pada Dewan Pers dan tertuang dalam undang-undang,” imbuhnya.
Indeks kebebasan pers: Indonesia terpuruk
Menurut LSM Reporters Without Borders (RSF), Indonesia masuk dalam indeks kebebasan pers internasional dalam kurun waktu setahun Organisasi ini turun tiga peringkat, dari peringkat 108 pada tahun 2023 menjadi peringkat 111 pada tahun 2024.
Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi tengah di kawasan ini: berada di depan Singapura (126), Filipina (134) dan Vietnam (174), namun tertinggal dari Timor Timur (20), Thailand (87) dan Malaysia (107).
Ini bukan upaya pertama di Indonesia untuk membatasi kebebasan pers, kata Herik Kurniawan dari Persatuan Jurnalis Nasional. Namun, pasal-pasal yang melarang jurnalisme investigatif merupakan “upaya paling serius” dalam arah ini hingga saat ini.
Anggota Parlemen: Kebebasan pers tidak akan dibatasi
Nurul Arifin, anggota DPR dan Panitia Kerja RUU tersebut, membantah kritik tersebut. Panitia memastikan revisi undang-undang penyiaran tidak akan membatasi kebebasan pers di Indonesia.
Pemerintah tidak berniat menekan kebebasan media melalui rancangan revisi tersebut, kata Arifin dalam pernyataan baru-baru ini yang dimuat oleh media Indonesia. Parlemen terbuka untuk menerima masukan mengenai rancangan undang-undang tersebut. Apalagi, draf tersebut sedang dalam tahap revisi. Beberapa pasal RUU yang dikritisi belum rampung.
Pemerintah menganggap revisi Undang-Undang Penyiaran, yang disahkan pada tahun 2002, perlu dilakukan untuk menggantikan peraturan yang dianggap sudah ketinggalan zaman. Revisi tersebut telah dibahas setidaknya sejak tahun 2020. Namun hanya rancangan undang-undang terbaru yang memuat pasal-pasal kontroversial tersebut. Itu bisa disahkan pada September 2024.