1.550 kandidat untuk posisi kepemimpinan di lebih dari 500 kabupaten dan kota: pemilu daerah di Indonesia merupakan peristiwa yang menuntut logistik.
Pemilihan kali ini dilakukan secara bersamaan: untuk pertama kalinya, gubernur daerah, direktur wilayah administratif, dan walikota di seluruh negeri dipilih pada hari yang sama. Penghitungan suara diperkirakan akan berlangsung hingga pertengahan Desember.
Para pejabat ini memainkan peran yang sangat besar dalam sistem politik Indonesia yang sebagian besar terdesentralisasi. Misalnya, mereka bertanggung jawab untuk menyediakan layanan publik lokal dan membuat keputusan pemerintah dan anggaran daerah.
Namun mengingat musim pemilihan presiden dan legislatif yang penuh gejolak pada awal tahun ini, para pejabat pemilu kini khawatir bahwa kelelahan pemilih dapat terjadi di kalangan masyarakat. Kekhawatirannya adalah masyarakat akan bosan dengan pemilu yang sedang berlangsung.
Berdasarkan survei yang dilakukan lembaga riset Litbang Kompas pada akhir Oktober, sekitar 43 persen responden di wilayah berpenduduk padat di Jawa Tengah masih ragu apakah mereka akan ikut serta dalam pilkada atau tidak.
Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia mengkonfirmasi tren ini: Berdasarkan data tersebut, jumlah pemilih dalam pemilihan presiden bulan Februari, yang mana Prabowo Subianto muncul sebagai pemenang, kurang dari 82 persen. Jumlah tersebut persis dengan persentase yang ditetapkan KPU sebagai nilai minimum pilkada.
Lelah setelah serangkaian pemilu?
Salah satu tantangan terbesar dalam pilkada mendatang adalah penipisan jumlah penduduk, jelas Idham Holik dari KPU. “Ini adalah masalah penting yang perlu kita atasi,” katanya seperti dikutip kantor berita Antara. “Jika situasi seperti ini muncul, ada risiko jumlah pemilih yang lebih rendah. Pada saat yang sama, kita bertugas meningkatkan jumlah pemilih.”
Sampai batas tertentu, ada yang mungkin ingin menghindari perhatian terhadap berita politik. Holik khawatir hal ini kemudian akan diikuti dengan keputusan untuk tidak mengikuti pemilu. Hal ini, pada gilirannya, dapat menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi hasil pemilu.
“Anak-anak muda sebagian sudah lelah dengan diskusi politik pemilu lalu. Dan dalam situasi seperti ini mereka kini dihadapkan pada pilkada. Hal ini membuat mereka ragu untuk mencari informasi seputar pilkada,” kata panitia pemilu dan pemilu sesaat sebelum acara. pemilu Lembaga pemikir Indonesia Perludem terlibat dalam penelitian demokrasi.
Perbedaan pendidikan politik, akses internet dan informasi di berbagai daerah juga turut menyebabkan rendahnya minat masyarakat. Bagi banyak pemilih, sulit pula memperoleh informasi mengenai program calon perseorangan. Hal ini bisa berdampak buruk pada partisipasi pemilih.
Menurunnya keterlibatan masyarakat juga bisa disebabkan oleh kebiasaan partai politik dalam mengajukan kandidat tanpa memperhatikan keinginan masyarakat, kata Trubus Rahadiansyah dari Universitas Trisakti di Jakarta.
Banyak kandidat yang mencalonkan diri dalam pilkada tidak diketahui masyarakat sehingga dianggap oleh pemilih hanya sebagai wakil elit pusat.
Pentingnya Pilkada
Menurunnya animo tersebut juga terlihat dari pemilu daerah yang tidak disambut antusias seperti pemilu presiden beberapa bulan sebelumnya.
Roni, warga Bogor, Jawa Barat, bahkan belum bisa menyebutkan bulan pasti Pilkada 2024. “September?” jawabnya ketika reporter Babelpos menanyakan tanggalnya.
Bagi Sofi, mahasiswi yang saat ini hidup dari program beasiswa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pilkada bukan sekadar soal memilih pemerintah daerah.
Kekhawatiran terbesar mereka sangat spesifik: pemerintah berikutnya bisa saja menghapuskan program beasiswa. Ketidakpastian tersebut menjadi alasan utama Sofi belum mengambil keputusan hingga beberapa hari menjelang pemilu.
“Jika peraturan mengenai beasiswa berubah, maka akan berdampak besar pada kehidupan saya,” kata Sofi kepada Babelpos.
Bagi generasi muda seperti Roni dan Sofi, pilkada lebih dari sekedar mencoblos. Hasilnya dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan mereka setidaknya selama lima tahun ke depan.
Menurut lembaga think tank Perludem, keputusan politik di daerah berdampak langsung pada warga. Misalnya, besaran upah minimum provinsi dan kota (UMK) ditentukan oleh pemerintah daerah masing-masing.
Hal senada juga diungkapkan oleh ilmuwan politik Rahardiansyah. Keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah, seperti keputusan mengenai keamanan pangan, terkadang mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. “Misalnya, beberapa peraturan daerah bisa membuat generasi muda mendapatkan pekerjaan yang layak.”