Pembelajaran digital pernah disebut-sebut sebagai jalan ke depan. Namun, 15 tahun setelah mengganti buku dengan komputer, Swedia kini menginvestasikan €104 juta untuk mengembalikan buku teks cetak. Alasannya? Para pejabat yakin pendekatan yang mengutamakan digital telah gagal mengembangkan keterampilan dasar seperti membaca dan menulis. Sekali lagi, komputer dikesampingkan untuk memberi ruang bagi buku teks tradisional dalam kurikulum.
Di negara seperti India, di mana kita sering mencari inspirasi dari Barat, keputusan ini menimbulkan pertanyaan penting. Apa dampak pergeseran Swedia terhadap India? Selain itu, seberapa lazimkah pembelajaran digital di sini, dan apakah pembelajaran digital sudah menembus cukup dalam sehingga dapat mempengaruhi siswa dengan cara yang sama?
Perspektif Swedia
Setelah Swedia memperkenalkan pembelajaran digital di sekolah-sekolah, sekolah-sekolah di Irlandia juga mengikuti langkah serupa. Namun, pemerintah Swedia, setelah bereksperimen dengan pendidikan yang mengutamakan digital selama lebih dari satu dekade, menyadari adanya tren yang mengkhawatirkan: keterampilan membaca dan menulis siswa menurun. Menteri Sekolah Lotta Edholm menekankan pentingnya lingkungan analog untuk mengembangkan keterampilan dasar, dan mengumumkan investasi yang signifikan dalam memperkenalkan kembali buku teks dan metode pengajaran tradisional.
Hal ini tidak berarti Swedia meninggalkan teknologi sama sekali—ini soal menjaga keseimbangan. UNESCO juga telah memperingatkan agar tidak terlalu bergantung pada alat-alat digital, dan menganjurkan pembelajaran tatap muka yang dipimpin oleh guru.
India: Paradoks digital dalam pendidikan
India, dengan keragaman sosio-ekonomi dan populasi siswa yang besar, menghadapi tantangan unik dalam mengintegrasikan pembelajaran digital. Menurut Praneet Mungali, Pengawas Sekolah Kelompok Sanskriti, meskipun inisiatif seperti Hak atas Pendidikan dan Samagra Shiksha Abhiyan telah meningkatkan akses terhadap pendidikan, kebiasaan membaca sebagian besar masih terbatas pada buku teks.
Bagi jutaan siswa, khususnya di daerah pedesaan, pendidikan digital masih menjadi impian yang mustahil karena terbatasnya sumber daya. Sementara itu, sekolah-sekolah di perkotaan semakin banyak yang mengadopsi perangkat digital, sehingga menciptakan kesenjangan yang mencolok.
Anu Singh (nama diubah), seorang guru di sebuah sekolah terkenal di Delhi dan ibu dari dua anak, berbagi, “Di India, kita masih berada dalam era pengajaran di papan tulis, dan buku teks merupakan bagian integral dari kurikulum sebagian besar siswa. Kecuali sekolah IB yang pembelajaran digitalnya sepenuhnya terintegrasi, akses terhadap sumber daya tersebut terbatas. Ya, banyak pelajar yang mempunyai akses terhadap telepon di rumah, tapi disitulah masalahnya muncul. Meskipun beberapa orang menggunakannya untuk memahami topik dengan lebih baik, kebijaksanaan orang tua sangat penting dalam hal ini.”
Dia setuju dengan pandangan Mungali, dan menambahkan bahwa bagi banyak siswa, memiliki buku teks adalah sebuah kemewahan, sehingga gagasan untuk mengandalkan pembelajaran digital tampak hampir tidak nyata.
Apakah kita kurang membaca?
Di India, permasalahannya bukan pada pembelajaran digital, melainkan dominasi media visual. Menurut laporan organisasi National Literacy Trust (NLT) pada tahun 2024, yang mencakup lebih dari 76.000 tanggapan, menunjukkan bahwa hanya 34,6% anak-anak berusia 8 hingga 18 tahun menikmati membaca di waktu luang mereka.
Laporan tren streaming tahunan Amazon Fire TV tahun lalu mengungkapkan bahwa masyarakat India kini menghabiskan rata-rata lebih dari empat jam per hari untuk menonton konten secara berlebihan di perangkat Fire TV mereka. Dengan jumlah pengguna ponsel cerdas di India yang melampaui angka 1 miliar, 90% dari mereka lebih memilih mengonsumsi konten video online.
Meningkatnya waktu menatap layar di kalangan siswa bukan disebabkan oleh sekolah yang mengadopsi pembelajaran digital; melainkan berasal dari paparan berlebihan terhadap konten di platform OTT.
Seiring dengan meningkatnya konsumsi konten digital, aktivitas membaca tradisional tampaknya menurun—sebuah pola yang terjadi secara global. Arzoo Wadhawan, Psikolog Klinis Rumah Sakit Artemis, menyoroti beberapa faktor:
- Kepuasan instan: Platform seperti Netflix menawarkan hiburan visual yang cepat dan membutuhkan lebih sedikit upaya kognitif.
- Rentang perhatian: Media sosial dan budaya multitasking mengurangi interaksi yang mendalam dan terfokus dengan teks.
- Peralihan ke format yang lebih pendek: Blog, tweet, dan buku audio memenuhi gaya hidup modern, namun mengorbankan pemikiran kritis dan konsentrasi.
Peran perpustakaan, kebijakan dan pameran buku
Namun, Swagat Sengupta, CEO Toko Buku Oxford, memberikan pandangan yang lebih optimis, karena mengamati bahwa jumlah pembaca tidak menurun secara merata. “Kami melihat langkah-langkah dinamis yang dilakukan oleh anak-anak, Gen Z, dan seterusnya,” katanya, memuji inisiatif seperti pameran buku dan lokakarya sastra yang telah menumbuhkan kebiasaan membaca seumur hidup.
Perpustakaan di India, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan sekolah, berperan penting dalam menjembatani kesenjangan tersebut. Namun, banyak di antara mereka yang kekurangan pendanaan atau manajemen modern. Mungali mengadvokasi investasi di sekolah dan perpustakaan umum agar buku dapat diakses oleh semua kelompok sosial ekonomi. Skema pemerintah seperti Misi Nasional Perpustakaan memberikan titik awal, namun masih banyak yang perlu dilakukan.
Waktu layar dan pembelajaran
Kembalinya Swedia ke kebijakan buku teks berasal dari semakin banyaknya bukti bahwa waktu menatap layar dapat menghambat pembelajaran dasar. Wadhawan menjelaskan, “Sering melakukan multitasking akan memperkuat otak, mengurangi fokus dan kemampuan membaca secara mendalam.” India juga melihat adanya peningkatan kekhawatiran terhadap paparan layar yang berlebihan pada anak-anak, sehingga pendekatan yang seimbang terhadap teknologi menjadi penting.
Jalan ke depan
Tantangan yang dihadapi India bukanlah pembelajaran digital itu sendiri, namun angka-angka menunjukkan adanya penurunan jumlah pembaca. Seorang ibu dari seorang siswa Kelas VIII, yang akan segera naik ke Kelas IX, berbagi pengalamannya: “Setiap hari Jumat, putri saya menerima buku dari perpustakaan sekolah sebagai bagian dari kurikulum mereka. Namun ketika dia pulang, buku itu berakhir di lacinya, tidak tersentuh. Sebaliknya, dia menggunakan ponselnya—baik untuk mengerjakan pekerjaan rumah, bermain game, atau menonton video. Buku perpustakaan akhirnya kembali belum dibaca. Saya percaya, kita memerlukan insentif yang lebih kuat dan strategi kreatif untuk menumbuhkan kebiasaan membaca, yang semakin hari semakin sulit.”
Para ahli menyarankan:
- Memperkuat perpustakaan sekolah: Sebagai pusat pembelajaran analog, perpustakaan dapat memupuk kemampuan membaca setelah ujian.
- Mempromosikan membaca bersama keluarga: Menjadikan membaca sebagai kegiatan sosial dapat melawan kebiasaan yang didorong oleh OTT.
- Mempermainkan pengalaman membaca: Aplikasi yang menggabungkan buku dengan elemen interaktif dapat melibatkan siswa yang paham teknologi.