Pernahkah Anda mendengar seseorang menyalahkan ledakan energi liarnya karena terlalu banyak mengonsumsi gula? Ada kepercayaan umum bahwa mengonsumsi makanan manis membuat kita melonjak ke tingkat 'gula tinggi', namun kemudian jatuh lagi.
Namun apakah pernyataan ini benar secara ilmiah atau hanya sekedar dongeng belaka?
Apakah gula memang tinggi?
Pertama, ya, gula memang mempengaruhi tubuh kita. Saat kita mengunyah sebatang coklat atau meneguk sekaleng soda, tubuh kita memecah gula menjadi glukosa, yang kemudian diserap ke dalam aliran darah.
Hal ini menyebabkan lonjakan kadar gula darah, dan untuk sementara, kita mungkin merasakan aliran energi, seperti kita siap menghadapi dunia.
Dr Rajiv Kovil, kepala diabetologi, Zandra Healthcare, mengatakan, “Saat Anda berada dalam kondisi 'tinggi gula', tubuh Anda mengalami tingkat energi yang tinggi. Anda cenderung merasa berenergi pada awalnya dan mengalami kewaspadaan.”
Namun, lonjakan gula darah yang tiba-tiba ini dapat membuat Anda lelah, mudah tersinggung, dan menginginkan lebih banyak gula untuk mempertahankan kadar gula tersebut. 'Gula tinggi' yang sering terjadi dapat berdampak pada kesehatan seseorang dan menyebabkan masalah seperti penambahan berat badan, resistensi insulin, dan diabetes,” kata Kovil.
Penelitian dan studi apa yang memberitahu kita tentang 'kadar gula'
Sekarang, di sinilah hal-hal menjadi menarik.
Beberapa penelitian telah menyelidiki fakta apakah lonjakan kadar gula darah benar-benar memengaruhi perilaku dan suasana hati kita.
Sebuah penelitian dipublikasikan di jurnal Fisiologi dan Perilaku menemukan bahwa mengonsumsi makanan tinggi gula dapat meningkatkan suasana hati dan kewaspadaan untuk sementara. Jadi, ya, mungkin ada benarnya mitos kadar gula tersebut.
Namun, Dr Kovil berpendapat bahwa konsep 'tinggi gula hanyalah mitos' karena penelitian dan bukti belum menunjukkan adanya hubungan antara asupan gula pada anak-anak dan hiperaktif.
Meskipun berbagai penelitian dan pakar telah membantah teori 'kadar gula tinggi', ada pula yang berpendapat bahwa hal tersebut mungkin bukan mitos belaka.
Bisakah gula membuat orang (dan terutama anak-anak) menjadi hiperaktif?
Pada tahun 1994, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine membantah anggapan bahwa gula mempengaruhi perilaku anak-anak. Penelitian ini melibatkan anak-anak prasekolah dan mereka yang diyakini sensitif terhadap gula.
Dengan menggunakan pendekatan double-blind (uji klinis di mana baik peserta maupun peneliti tidak mengetahui pengobatan atau intervensi apa yang diterima peserta sampai uji klinis selesai), penelitian ini tidak menemukan bukti yang menghubungkan konsumsi gula dengan perubahan perilaku atau fungsi kognitif. Analisis selanjutnya memperkuat kesimpulan ini.
Meskipun penyelidikan sedang dilakukan, konsensusnya tetap: gula tidak mempengaruhi perilaku anak secara signifikan.
Apakah 'sugar crash' itu nyata?
Anggap saja ini adalah lingkaran setan. Jika konsep 'sugar high' itu nyata, maka 'sugar crash' juga nyata.
Sekarang bayangkan, Anda telah menenggak makanan manis, dan Anda merasa seperti pahlawan super selama beberapa waktu, lalu bam! Energi Anda menurun, membuat Anda rewel dan menginginkan perbaikan lain. Itu adalah 'kecelakaan gula'.
Ingat penelitian yang diterbitkan pada tahun 1994 yang membantah gagasan hiperaktif pada anak-anak karena tingginya asupan gula? Studi yang sama menemukan bahwa perbaikan suasana hati ini hanya berlangsung sebentar dan diikuti dengan penurunan suasana hati dan tingkat energi. Dengan kata lain, lonjakan gula itu memang nyata, namun hanya sesaat, dan sering kali diikuti oleh kehancuran yang membuat kita merasa lebih buruk dari sebelumnya.
Dr Mehtab Siddiqui yang berbasis di Delhi mengatakan, “Meskipun tidak ada penelitian ilmiah yang memvalidasi 'tinggi gula' atau 'jatuhnya gula', Anda tidak dapat menyangkal lonjakan energi tiba-tiba yang Anda dapatkan setelah mengonsumsi sebatang coklat atau, katakanlah, sekaleng minuman energi.”
Apakah menghindari konsumsi gula adalah solusinya?
Seperti semua hal dalam hidup, moderasi adalah kuncinya.
Menikmati camilan manis sesekali memang baik-baik saja, tetapi mengandalkan gula untuk meningkatkan semangat atau menambah energi bukanlah pendekatan yang paling sehat.
Sebaliknya, pilihlah makanan ringan dan minuman yang memberikan energi lebih berkelanjutan, seperti buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian, dan protein tanpa lemak. Makanan-makanan ini melepaskan energinya lebih lambat, membantu menjaga kadar gula darah kita tetap stabil dan suasana hati kita tetap stabil.
“Untuk mencegah apa yang disebut gula tinggi mengganggu kehidupan normal Anda, pilihlah makanan dengan indeks glikemik rendah seperti quinoa dan barley, kacang-kacangan, dan buncis. Selain itu, tambahkan buah dan sayuran kaya serat dalam jumlah yang disarankan ke dalam makanan Anda untuk mengatur kadar gula darah. Memasukkan lemak sehat dengan mengonsumsi alpukat, kacang-kacangan, dan biji-bijian, selanjutnya dapat memperlambat penyerapan gula ke dalam aliran darah. Bahkan ikan dan tahu mengatur kadar gula darah dan mencegah kadar gula tinggi,” kata Dr Kovil.
Ingat
Keberadaan “gula tinggi” masih diperdebatkan. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara asupan gula dan peningkatan energi atau hiperaktif, buktinya tidak meyakinkan dan kurang mendukung.
Namun, yang didukung oleh setiap ahli adalah gagasan bahwa gula dapat meningkatkan suasana hati (yang juga merupakan efek plasebo).
Jadi, lain kali Anda tergoda untuk mengonsumsi camilan manis saat Anda sedang kewalahan atau sedih, ingatlah bahwa tidak ada data ilmiah konklusif yang menunjukkan bahwa camilan tersebut benar-benar dapat membuat Anda merasa lebih baik.